


6. Akal Sehat
Ini adalah sifat terakhir. Manusia tanpa akal sehat cenderung akan menggunakan emosinya dalam bertindak. Dan emosi adalah salah satu sifat yang merugikan dalam berinvestasi.
Menggunakan emosi adalah salah satu sifat alami manusia, karena berinvestasi menggunakan uang hasil jerih payah yang dihasilkan. Ketika sahamnya naik, kita cenderung merasa paling jago sehingga bisa menaklukkan dunia. Ketika sahamnya turun, kita akan merasa dunia serba salah, ditambah liputan media, maka seakan-akan kiamat sudah hampir tiba.
Reaksi yang normal karena pada dasarnya manusia suka melebih-lebihkan apa yang dirasakannya. Kita jarang bisa objektif menilai sesuatu. Padahal dalam kehidupan, seperti juga di saham, selalu akan ada up and downnya.
Cara pandang kitalah yang menentukan reaksi kita terhadap up and down itu. Minimal ketika up, kita bisa menanyakan ke diri, apa masalah yang mungkin membuat situasi ini berubah. Ketika down, kita bisa menanyakan, apa hal yang bisa membuat situasi ini membaik.
Contoh, ketika ekonomi up, laba perusahaan bertambah, konsumsi bertambah, harapan kita adalah selalu akan begitu. Tapi kenyataannya tidak demikian. Ketika penghasilan kita bertambah, otomatis ada pihak lain yang ingin menikmati juga, maka harga barang dinaikkan, yang akan menambah inflasi, dan pemerintah akan menaikkan pajak, untuk membiayai pembangunan, misalnya listrik air dan jalan. Yang 2 2nya akan mengurangi daya konsumsi.
Dan pemasukan negara cuma 2 loh, kalau tidak dari pajak, berarti dari hutang. Kalau dari hutang, berarti ekonomi kita dibiayai high cost economy.
Setelah ekonomi melemah karena orang takut mengeluarkan uang, maka orang cenderung berhati-hati. Dan reaksi yang muncul beragam, tapi hampir pasti tidak ada yang senang dengan pelemahan kecuali ada pihak yang mendapat manfaat darinya. Dan kadang kita merasa sudah tidak ada harapan lagi.
Tapi ekonomi yang melemah, akan membuat pemerintah mengeluarkan stimulus atau keringanan beban usaha misalnya dari sisi pajak atau peraturan yang dipermudah. Setelah ini terjadi, akan ada pihak yang bergerak, sehingga ekonomi akan jalan lagi.
Kita harus bersikap realistis, bahwa semua tidak akan berlangsung selamanya. Baik waktu naik ataupun turun. Sikap kita yang menentukan apakah kita bisa mengambil kesempatan dari peluang yang muncul.
Tidak ada cara untuk meramal kapan peluang muncul, kalau ya, peramal sudah ada di hawaii menikmati pensiunnya, daripada masih sibuk membawa bola kristal mencari pelanggan. Kita hanya bisa mempelajari dari situasi yang ada. Ketika di atas, apa tanda yang akan membuat semua berubah. Ketika di bawah, apa tanda yang akan membuat semua berubah.
Tanda yang tidak akan terjadi setiap hari. Karena itulah kita sebagai investor tidak perlu memantau pasar setiap hari. Waktu kita lebih baik dipakai untuk mengumpulkan kekayaan yang lebih besar, yang akan digunakan untuk berinvestasi lagi.
Investasi itu secara logika adalah menanamkan uang dan membiarkannya bertumbuh. Ketika ladangnya sudah tidak baik, pohon uang kita harus dipindahkan. Ladang di sini bisa berarti fundamental perusahaan. Perusahaan yang baik akan kokoh berdiri walau ada badai finansial. Perusahaan jelek akan hilang ditiup angin sore hari. Pahami ini sehingga kita tidak perlu sibuk menjaga pohon uang kita setiap hari. Biarkan manajemen perusahaan yang luar biasa mengembangkannya. Kita menikmati hasilnya.
Melihat apa adanya sangatlah sulit, butuh latihan, ingat perfection kelima? Latihan. Kita sudah terbiasa menambahkan cerita ke semua hal, yang padahal belum tentu demikian. Walau susah, kita tetap perlu berlatih, karena jika tidak, kita akan mengulang kebiasaan lama yang tidak membantu.
Semakin sering dilakukan, semakin gampang kita menerima sesuatu itu menjadi diri kita. Hal-hal baik maupun buruk. Sehingga ada kan orang yang menganggap dirinya pemarah. Padahal secara logika, tidak ada yang namanya orang pemarah 24 jam sehari. Adanya adalah orang yang suka marah-marah.
Demikian juga untuk menjadi investor yang berhasil. Secara akal sehat, kita harusnya melihat yang sudah berhasil dan mengikuti mereka. Secara logika, ini lebih cepat, dibanding sibuk membuka jalan sendiri. Bukankah maunya kita adalah cepat berhasil?
Sama saja dengan bisnis lain, ketika ada yang berhasil, meniru jalan yang mereka tempuh adalah lebih bijak dibanding sibuk mencoba sendiri.
Yang terakhir. Cara pandang kita terhadap bursa. Saham adalah kertas yang mewakili nilai sebuah perusahaan. Jelas sebuah perusahaan ada nilainya. Kalau tidak maka orang akan melihat semua sama saja. Apakah ada yang rela menukar saham BBRI dengan saham BUMI dengan jumlah yang sama? Jelas kalau dari akal sehat, tidak ada yang mau.
Perusahaan yang ada nilainya ini, akan bergerak naik turun tergantung situasi. Ketika masa susah, orang akan panik dan menjual, dan ketika masa senang, orang akan nafsu membeli. Di sinilah kita mendapat kesempatan. Ketika banyak yang menjual perusahaan baik dengan harga murah, dan membeli dengan harga mahal. Kita melakukan sebaliknya.
Bagaimana kalau kita tidak tahu nilai perusahaan? Di sinilah kita perlu untuk meningkatkan kapasitas kita. Sama logikanya ketika anak SD tidak memahami pelajaran SMA, orang tua mendorong mereka untuk terus maju, dan bukan mencari jalan pintas. Demikian juga di saham.
Jangan berharap ada jalan pintas menuju kekayaan. Kalau benar ada, itu sudah dilakukan semua penghuni forbes. Tidak perlu menunggu kita membuktikannya.
Be a logical investor.