Fear and Greed

  • Save

 

Fear and Greed

Gambar di atas cukup jelas menggambarkan bagaimana seorang investor akan bangkrut. Kita selalu berusaha mengejar saham yang naik kemudian panik ketika turun dan menjual lebih murah.

Mengapa ini dilakukan? Hal yang paling mendasari tindakan kita ini adalah kita melihat bursa dengan kacamata yang tidak logis.

Kita melihat bursa sebagai roller coaster tempat kita bertaruh untuk mendapat uang cepat. Sehingga ketika naik dan berasumsi saham akan naik terus, kita ingin mengambil kesempatan, ketika turun kita menjadi takut akan kemungkinan jatuh ke lubang tak berdasar, sehingga panik dan kita menjual.

Padahal kalau dicermati, saham itu adalah menggambarkan apa yang diwakilkan perusahaan di belakangnya. Ketika membeli saham ASII, berarti kita membeli sebagian dari kepemilikan perusahaan Astra Internasional. Ketika membeli saham saham BBRI, kita membeli sebagian dari kepemilikan Bank Rakyat Indonesia. Ketika kita membeli BUMI, kita membeli sebagian dari kepemilikan Bumi Resources. Dan investor akan mendapat hasil dari apa yang dia investasikan. Market selalu akan benar. Kita hanya mendapat apa yang kita tabur.

Karena saham adalah nilai dari perusahaan yang diwakilkan, bukan secarik kertas yang bebas ditulis berapapun angkanya, pasti adalah sebuah harga yang pantas untuk perusahaan itu. Sebuah angka yang menilai berapa harga untuk kekayaan dan hutang perusahaan beserta potensi ke depannya.

Katakanlah harga pantas adalah 1.000. Jika harga saham bergerak dari 600 ke 900, berarti nilai perusahaan bergerak menuju nilai wajarnya, dan potensi keuntungan tinggal 100. Seharusnya pada saat ini investor harus takut dan menarik diri. Ketika harga saham bergerak dari 900 ke 600, berarti perusahaan bergerak menjauhi nilai wajarnya, dan potensi keuntungan bertambah menjadi 400. Seharusnya pada saat ini investor harusnya bergembira dan bersiap untuk membeli. Masalah timbul kalau kita tidak tahu nilai sahamnya 100 atau 1.000 atau 10.000.

Ini yang digambarkan Warren Buffet : be fearful when other greedy and be greedy when other fear. Jangan membeli ketika semua panik buying. Jangan menjual ketika semua panik selling. Kita tidak akan pernah mendapat harga yang bagus.

Bagaimana kalau harga sahamnya bergerak terus ke salah satu arah. Misalnya menembus harga wajarnya atau turun terus? Sampai saat ini masih belum ditemukan alat untuk menghitung keserakahan dan kepanikan orang di bursa saham dengan tepat. Kalau benar ada, penghuni Forbes sudah duluan menggunakan alat ini, dan mengunci rapat-rapat di lemari besi dijaga dengan sangat ketat. Patut dipertanyakan peramal yang masih membawa bola kristal kemana-mana mencari pelanggan yang mau diramal alih-alih menggunakan bola kristalnya untuk memperkaya diri. Kita hanya bisa menentukan sebuah angka yang pantas untuk beli/jual (bisa dengan MOS atau Teknikal analisis) dan setelah transaksi terjadi, saatnya move on.

Ada asumsi bahwa analis bisa dipakai untuk menghitung target harga sebuah saham. Rasanya itu juga hanya kabar burung. Ingat tadi di atas, nilai perusahaan adalah gabungan antara kekayaan dikurangi hutang dan ditambah potensi ke depan. Potensi ke depanlah yang membuat semua penilaian bersifat subjektif. Yang optimis akan melihat pertumbuhan, yang pesimis akan melihat penurunan. Yang mana yang benar? Tergantung kapan seseorang mau membeli atau menjual. Tidak ada target harga atau absolut. Semua tergantung dari pandangan yang memberi nilai.

Dan masalah besar timbul jika kita tidak tahu apa yang kita beli. Pernah tidak kita pergi ke sebuah  toko dan langsung membeli barang tanpa melakukan perbandingan? Bisa saja dapat barang murah dan bagus. Tapi seperti ketika bermain poker, ada yang bisa menang tanpa melihat kartu, tapi untuk apa mengambil yang tidak perlu.

Be a smart and brave investor (in the correct time)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!
Copy link