


Menilai Manajemen
Ini ditulis di salah satu artikel. Total isinya sekitar 60an halaman.
We interpret an executive’s ownership of luxury goods, including expensive cars, boats, and houses, as a symptom of relatively low “frugality.” Motivated by the psychology and managerial accounting literatures, we predict that CEOs who refrain from acquiring luxury goods (hereafter “frugal CEOs”) are likely to run a “tight ship” relative to unfrugal CEOs (culture channel). Consistent with the culture channel, we find that the probabilities of both fraudulent reporting by other insiders and erroneous reporting are higher in firms run by an unfrugal (vs. frugal) CEO, and these differences become more pronounced over the CEO’s tenure. Further, we find some evidence that the increasing probability of fraud over the tenure of unfrugal CEOs is associated with the appointment of an unfrugal CFO, as well as an increase in more “traditional” fraud risk factors, i.e., an increase in executives’ equity-based incentives and weakened board monitoring. In contrast to executives with records, we find no evidence that unfrugal executives have a higher propensity to perpetrate fraud.
Inti dari Tulisan di atas adalah periksalah manajemen. Jika manajemen cenderung memakai barang mewah dan hobi mengoleksi, maka risiko adanya pemalsuan laporan keuangan akan meningkat.
Ini adalah logis, manajemen yang boros cenderung menghabiskan uang perusahaan kepada hal yang sedikit gunanya terhadap nilai perusahaan. Apalagi jika kondisi ekonomi sedang memburuk, adalah susah untuk merubah kebiasaan foya-foya menjadi kebiasaan berhemat.
Ini juga disebut di buku One Up oleh Peter Lynch. Ketika Lynch mengunjungi perusahaan, yang dia lakukan selain mewawancarai manajemen, adalah melihat isi perusahaan. Ketika perusahaan berisi banyak barang yang tidak penting, ukiran, patung, lukisan, perabot mewah, ini adalah signal perusahaan yang boros.
Mereka perlu mempertahankan kinerja di level yang tinggi supaya biaya untuk fasilitas seperti ini tetap ada. Dan kita tahu, ekonomi selalu pasang surut, walau perusahaan ini akan selamat dari kejatuhan ketika ekonomi turun, mereka akan ketinggalan lepas landas dibanding perusahaan yang sudah terbiasa berdebat ketika ekonomi naik lagi.
Perusahaan yang berhemat akan punya dana di waktu bullish untuk ekspansi, dan di masa sulit untuk bertahan hidup. Sama seperti manusia pada umumnya. Orang yang cenderung foya-foya atau suka pamer perlu biaya tinggi untuk mempertahankan gaya hidup mereka.
Ini mengakibatkan mereka tidak punya uang lebih untuk berinvestasi. Lihatlah Mark Zuckerberg, Bill Gates, Warren Buffett, atau orang kaya lainnya. Mereka berusaha hidup sederhana supaya punya dana lebih untuk meningkatkan kapasitas mereka.
Apakah gampang hidup melawan arus? Jelas tidak. Apalagi jaman informasi, ketika informasi begitu gampang disebar. Orang selalu akan berpikir apa kata orang kalau saya tidak seperti gambaran ideal.
Demikian juga berinvestasi melawan arus. Tapi justru ketika kita terbiasa melawan arus, hidup apa adanya, kita akan punya dana lebih untuk berinvestasi, dan punya kebiasaan untuk menilai mana perusahaan yang punya kapasitas mencapai tenbagger di masa depan.
Apa itu tenbagger? Silakan baca di https://saham-indonesia.com/2016/03/tenbaggers/