Welcome to the Club

  • Save

Welcome to the Club

Di gambar adalah total transaksi kami selama bulan lalu. Kami cuma menjual BBNI dan AISA kemudian membeli WIKA, LPCK, dan SCMA. Pembelian saham baru adalah SCMA, sedangkan yang lain cuma mengurangi dan menambah dari yang sudah ada. Kecuali AISA, sudah kami jual semua. Penjelasan tentang itu ada di artikel sebelumnya mengapa kami menjual. https://saham-indonesia.com/2017/07/aisa-apakah-masih-perusahaan-nomor-1/

Tapi mengenai AISA, satu hal yang kami sesali. Bukan di harga jual yang rendah dibanding highnya, toh di harga atas kami tidak ingin menjual, karena untuk prospek ke depannya. Bukan juga kejadian tak terduga mengenai kasus beras. Bukan juga di segala macam reaksi masyarakat. Yang benar-benar harus dipikirkan adalah mengapa bisa sampai timbul rasa tidak percaya kemampuan manajemen AISA untuk kembali ke titik semula. Apakah salah berpikir demikian, kami rasa tidak. Toh keputusan kemarin sudah diambil, yang menurut kami adalah yang terbaik.

Tapi cara pandang tidak percaya terhadap orang baik inilah yang nanti akan merepotkan. Karena ini bisa menjadi titik awal untuk spiral down. Sekali kita menanam konsep ini pikiran, atas dasar apa kita tidak melakukan lagi di masa depan. Begitulah semua kebiasaan kita terjadi. Kita memulai kecil dan merasa tidak apa-apa, dan akhirnya kebiasaan itu menjadi kita. Contoh biasanya orang suka bilang : saya orangnya pemarah, rasanya tidak demikian. Yang ada adalah orang yang sering marah. Atau saya orangnya murah hati. Yang sebenarnya dimaksud adalah saya sering bermurah hati. Tapi karena terlalu terbiasa, orang mengasosiasikan tindakan dia menjadi dia sendiri.

Mengapa kami beberapa kali membahas ini dan sebelumnya juga membuat artikel tentang kepercayaan? Karena semua hubungan dibangun atas dasar kepercayaan. Kita beli saham karena percaya isinya. Kita jual karena sudah tidak percaya. Demikian juga nasib sebuah negara. Untungnya survei menyatakan bahwa mayoritas masyarakat masih percaya pada pemerintah.

Sedangkan yang lain adalah mengurangi di BBNI dan menambah di WIKA. Alasannya sederhana, anggap sama-sama masih bisa naik 1000. Tapi secara volume, jelas bisa lebih banyak, dan ini akan memberi keuntungan pada perkembangan portofolio. Kami tidak menjual semua karena tidak bisa menebak seberapa tinggi BBNI akan naik. Tapi semakin tinggi harganya, akan semakin banyak yang kami jual, karena sudah meningkat. Mengenai risk dan reward ini juga telah kami bahas di berbagai artikel lama.

LPCK cuma untuk menggenapi lot saja. Tinggal SCMA yang merupakan anak baru. Selama beberapa waktu kami sudah memantau SCMA, sayangnya belum ada dana untuk membeli. Untungnya kejadian AISA memberi kesempatan. Jadi sebuah hal, kita tidak akan tahu itu adalah untung atau malang. Dan juga merupakan hasil diskusi dengan teman-teman yang sangat kami percayai. Kembali, kepercayaan adalah kuncinya. Orang-orang yang jika mereka berbicara akan kami dengarkan dengan seksama, karena kami tahu track record orang ini bagaimana. Bukan hanya orang asing yang mengomentari sebuah hal.

Jadi apa kesimpulan dari obrolan dengan mereka? BTW, sebelum kami membahas, perlu kami tekankan lagi, Saham-Indonesia adalah tentang belajar, bukan mencari informasi saham terkini yang bisa digoreng. Salah alamat kalau mengharap ada fasilitas demikian. Saham boleh beda, tapi cara memilihnya yang penting.

Kita selalu ingat, membeli saham berdasarkan 4 kriteria. Perusahaan bagus, yang punya prospek, dikelola orang jujur, dan dijual dengan harga murah. Mengapa Buffett jadi acuan? Karena sudah terbukti. Sesederhana itu. Mengapa mencoba kecap nomor 2 kalau yang nomor 1 sudah terbukti enak.

Jadi kita bisa menanyakan 4 hal ini pada perusahaan yang akan kita beli.

Apakah SCMA adalah perusahaan yang bagus? Kita lihat bisnisnya, media yang membutuhkan kekuatan modal lumayan. Kemudian lihat track record keuangan, rasionya cukup menarik. Plus 1 hal, SCMA adalah perusahaan tanpa hutang bank dan obligasi. Jadi mereka punya cash flow yang sangat kuat. Yang akan menjadi fondasi untuk alasan berikutnya.

Apakah SCMA perusahaan berprospek. Ini pertanyaan penting. Karena tanpa prospek bagus, nilai perusahaan tidak akan ke mana-mana. Apalagi persaingan dengan teknologi internet. Banyak media yang menyerah. Dalam hal ini, SCMA beruntung. Karena tanpa hutang, mereka punya kekuatan uang untuk mengakuisisi perusahaan teknologi yang dibutuhkan. Atau minimal berkreasi kira-kira perusahaan model apa yang cocok untuk masa depan. Menebak masa depan tidak gampang. Karena inilah, muncul pertanyaan ketiga.

Siapa yang menjalankan SCMA? Perusahaan media adalah sektor yang butuh inovasi. Untuk itulah butuh orang pintar yang bisa bergerak mengikuti masa depan yang cerah atau punya kemampuan menciptakan masa depan yang cerah. Dari obrolan dengan teman, kami mendapat kesan bahwa cara berpikir manajemen cocok dengan cara berpikir kami. Kami suka dengan cara berpikir manajemen SCMA. Plus, kalau baca tentang artikel Klub 1 Trillun, kami juga sudah membahas tentang ini. Jika kita sendiri tidak punya kemampuan, maka pekerjakan lah orang-orang terbaik di bidang nya. Ini juga dibahas Jack Ma. Apakah orang ini lebih pintar dari anda dan bisa jadi bos anda 5 tahun ke depan? Jika ya, pekerjakan dia. Untuk detil, silakan baca https://saham-indonesia.com/2017/07/klub-1-trillun/

Intinya, perusahaan baik tidak akan tinggal diam melihat kejatuhan dirinya. Mereka pasti berusaha, perkara berhasil atau gagal, itu urusan lain. Namanya masa depan, siapa yang bisa menebak?

Yang terakhir. Berapa nilai yang pantas untuk perusahaan ini? Hitungan kami, setidaknya perusahaan SCMA punya margin of safety sekitar 30%. Jadi cukup menarik. Kalau turun lagi, berarti dikasih lebih murah, tidak ada alasan untuk panik dengan downtrend.

Kelanjutan cerita? Kita tahu sisanya hari ini.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!
Copy link