The Greatest Showman in Darkest Hour

  • Save

 

The Greatest Showman in Darkest Hour

Setelah musim liburan selesai dengan banyaknya film bergenre anak-anak atau remaja, ada 2 film yang menarik, yaitu the Greatest Showman dan Darkest Hour.

The Greatest Showman adalah tentang bagaimana proses jatuh bangunnya sirkus P. T Barnum. Sedangkan Darkest Hour adalah karir politik Churchill di awal perang dunia kedua.

Bagi kami, melalui film kita bisa belajar banyak. Karena bagaimanapun film adalah dari ide manusia, apalagi kalau adaptasi dari kejadian nyata. Kebetulan kedua film ini dari kejadian nyata.

Di the Greatest Showman, Barnum diceritakan lahir dari kalangan bawah dan berusaha menunjukkan kepada keluarga istrinya keberhasilan dia. Kisah yang mungkin mirip dengan kehidupan kita. Ingin menunjukkan bahwa kita bisa berhasil kepada pihak tertentu, misalnya keluarga, teman, rekan kerja, atau bahkan kepada musuh.

Belajar dari film, dan dari pengalaman orang-orang sebelumnya, keinginan untuk berhasil karena dorongan pembuktian adalah tidak penting. Yang ingin dibuktikan saja mungkin sibuk dengan kegiatan dia yang tujuannya untuk membuktikan pada orang lain lagi.

Ini bagi kami menarik, karena biasanya jika kita ingin membuktikan sesuatu, kita membuat deadline sendiri. Dan deadline ini dalam berinvestasi adalah bencana. Waktu adalah teman bagi investor yang sabar dan musuh bagi investor yang tidak sabar.

Apakah ada orang yang ingin segera mendapat hasil berhasil? Bisa saja. Tapi apakah caranya bisa kita duplikasi? Itu lain cerita lagi. Ini penting karena latar belakang tiap orang beda. Kita tidak bisa begitu saja menyamakan semua tindakan orang lain ke kita. Yang bisa kita ambil adalah gambaran besarnya, kemudian disesuaikan dengan kondisi kita.

Kemudian pelajaran kedua di film ini. Berhutang adalah rencana yang buruk. Kita tidak akan tahu kapan kondisi berbalik melawan kita. Dan biasanya kita berhutang untuk membeli saham adalah dalam kondisi pasar sedang bagus. Ini yang merepotkan. Karena apapun yang bagus, selalu ada akhir. Tapi di kondisi pasar jelek juga kita tidak berani. Apalagi melihat portofolio kita setiap hari semakin menyusut.

Ini sesuai kondisi film Darkest Hour. Kondisi di mana perang dunia kedua baru dimulai, Nazi dengan cepat menguasai Eropa, dan Inggris tinggal sendirian menghadapi Jerman. Di saat itu perdana menteri Inggris berhenti, dan Churchill naik menggantikannya. Orang yang tidak diharapkan untuk naik jika kondisi lebih baik.

Tekanan datang dari Jerman yang mengepung tentara sekutu, bisa ditonton film Dunkrik untuk bagian ini, juga dari dalam negeri ketika pemerintahan yang dibentuk Churchill malah melawan dia. Karena ketakutan akan serangan Jerman, membuat banyak pihak memilih untuk berdamai saja dengan Jerman.

Ini sama seperti tekanan ketika kondisi bursa buruk sekali, di mana setiap hari kita melihat portofolio kita menyusut dan juga tekanan dari rekan-rekan investor yang mungkin panik.

Apakah Churchill menyerah? Tentu saja tidak, karena sejarah membuktikan pada akhirnya sekutu menang. Tapi bagaimana proses dia membuat kondisi berbalik sangat menarik. Dan walau ini film perang, jangan harap ada satu senjata pun terlihat. Semua adalah tentang bagaimana strategi dan langkah diambil. Seperti kata lawan politik Churchill, keahlian dia adalah membawa kata-kata ke Medan perang.

Tapi ketika kondisi buruk, kami merasa yang dibutuhkan bukan lagi angka. Tapi kita sebagai investor butuh kondisi yang bisa membuat kita bertahan. Pilihannya adalah menyendiri supaya tidak terganggu atau punya komunitas yang bisa saling mendukung.

Untungnya kami memiliki yang kedua. Ketika PGAS jatuh, hampir semuanya yang masih memiliki, memilih untuk bertahan dibanding harus menjual di harga 1.500. Selalu ingat, ketika di atas kita harus cukup rendah hati melihat datangnya perubahan, ketika di bawah kita harus cukup sabar menunggu datangnya perubahan.

Tidak lama, PGAS naik kembali ke harga 2.000an. Kondisi yang sama terjadi pada saham-saham konstruksi. Tidak ada satupun yang memilih menjual rugi, dan sebagian memutuskan untuk terus membeli di harga rendah. Karena pilihan logis adalah beli di harga murah dan jual di harga mahal. Bukan terbalik.

Sekarang, harga saham konstruksi sudah naik. Dengan kejadian ini, kami melihat, jika perusahaan tidak memiliki masalah terlalu serius, atau bahkan lumayan seperti PGAS, waktu akan menyembuhkan segalanya. Bertindak ketika panik adalah bencana dalam investasi.

Selain itu, kami melihat, ketika harga turun, kita sebaiknya tetap fokus pada saham yang sudah ada, dibanding membuka posisi baru karena merasa yang lama sudah jelek. Kalau kita membuka posisi baru, biasanya kejadian yang sama terulang. Bukankah lama-lama modal kita akan tergerus. Lebih baik modal digunakan untuk membeli lagi perusahaan yang sudah ada, asal kondisi perusahaan tidak mengalami banyak masalah, kita mendapat harga bawah, dan jumlah saham bertambah banyak.

Dengan demikian, ketika harga saham naik, break even menjadi lebih cepat dan potensi kita juga menjadi lebih untung karena jumlah saham lebih besar.

Kondisi membeli di harga turun jelas butuh keberanian dan keyakinan. Ingat saja, di bursa butuh keyakinan karena bursa akan menghabisi semua yang tidak punya keyakinan. Ini bisa didapatkan kalau kita melihat gambaran besarnya dulu. Hanya yang bermental baja yang bisa bertahan di hari-hari terburuk.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!
Copy link