Zero Pilar
Baru saja ada perkembangan mengenai perusahaan AISA. Bahwa adanya masalah di laporan keuangan tahun 2017. Salah satunya adalah karena ada order fiktif.
Kemudian kita sebagai investor harus bagaimana untuk hal ini. Mengenai masalah hukum dan yang sudah terjadi, kami akan menyerahkan pada yang lebih berkompeten.
Bahasan kami adalah untuk ke depannya. Mengantisipasi dalam hal ini adalah memperkirakan apa yang mungkin terjadi di dalam perusahaan. Yang pasti kami tidak menggunakan metode menebak masa depan, misalnya ada klaim sudah tahu apa yang akan terjadi.
Jika benar ada orang yang bisa mengklaim mampu membaca masa depan, seharusnya orang ini sedang mengusahakan negara Indonesia menjadi makmur, atau menjaga perdamaian dunia, dibanding cuma duduk di depan layar menggunakan keahlian supernya melihat harga saham.
Seperti kata Peter Lynch, biasanya pengamat berdebat mengenai jumlah gigi kuda dibanding keluar dan menghitungnya. Karena kita bukan pengamat, seharusnya kita keluar melihat apa yang terjadi di perusahaan dibanding sibuk berspekulasi.
Mengenai spekulasi, misalnya kalau membahas tentang sektor konstruksi beberapa bulan yang lalu, semua mungkin akan mengatakan sudah kiamat. Dan WIKA adalah yang terburuk di antara 4 besar BUMN. Tapi kinerja hari ini yang tercermin dari harga saham memperlihatkan WIKA sudah berbeda jauh dibanding tahun lalu.
Balik lagi ke AISA. Dalam berinvestasi, aset terbesar di perusahaan adalah kepercayaan. Ini merupakan pilar perusahaan. Jika perusahaan terbukti tidak bisa menjaga kepercayaan, maka sudah selayaknya kita buang. Bagaimana kita menilai? Semua kembali ke toleransi masing-masing terhadap kepercayaan itu apa. Terlalu percaya, bisa saja ikut tenggelam bersama perusahaan, terlalu skeptis akan membuat kita resah dan mengambil tindakan terlalu terburu-buru.
Ada dua pendekatan yang bisa kita ambil. Bahwa isi laporan keuangan tidak bisa dipercaya sehingga kita berhenti menggunakannya sebagai acuan. Atau bahwa kita sendiri belum cukup pengetahuan, sehingga perlu memperluas wawasan.
Kami memilih pendekatan kedua. Yang pasti semua cara pandang harus benar-benar masuk secara logika. Bukan dengan emosional menilai, apalagi karena mengalami kerugian sehingga mencela perusahaan, atau mendapat untung sehingga memuja perusahaan.
Kalau diperhatikan, perusahaan biasanya melakukan penyelewengan dalam laporan keuangan, karena untuk menghindari pajak. Kecuali perusahaan yang melakukan IPO untuk meraup dana masyarakat kemudian menghilang. Karena itu kami tidak pernah tertarik melihat perusahaan IPO walau mungkin kenal siapa pemilik perusahaan itu.
Untuk menghindari pajak, biasanya perusahaan memperkecil hasil yang ada. Artinya kita membeli perusahaan yang nilai sebenarnya lebih tinggi.
Dan jika kasus di AISA adalah meningkatkan nilai perusahaan, maka tujuan paling masuk akal menurut kami adalah untuk mendapat pinjaman. Dengan jaminan aset yang tinggi, pinjaman juga bisa lebih banyak. Apakah benar demikian, hanya manajemen yang tahu.
Namanya bisnis, semua adalah untuk mendapat uang. Dengan demikian, berarti kita membeli perusahaan yang nilainya lebih rendah. Bagaimana mencegah ini terjadi ke depan?
Jelas kita sendiri yang harus melindungi uang investasi kita dengan sebaik mungkin. Jangan pernah menunggu orang lain ada waktu untuk kita. Langkah pertama adalah melihat nilai hutang perusahaan. Semua bagian seharusnya bisa saja diubah, kecuali bagian hutang. Tidak mungkin perusahaan menghilangkan bagian hutang karena kreditur akan protes duluan.
Perusahaan yang terus meningkatkan rasio hutangnya secara berlebih jelas akan mengalami masalah. Bahkan jika perusahaan beroperasi dengan itikad baik. Hutang akan memukul perusahaan ketika krisis tiba. Dimana penjualan turun tapi hutang tidak mungkin turun. Tidak ada yang bisa berkata kalau bisnis sepi, tolong hutang saya diturunkan. Seperti kata Buffett, ketika ombak surut, akan kelihatan siapa yang berenang dengan celana hanyut.
Langkah kedua adalah dengan Margin of Safety. Semua tergantung lagi seberapa besar toleransi kita akan ini. Mengenai MOS bisa dibaca di :
30-50-70 : https://saham-indonesia.com/2019/01/30-50-70/
Dengan MOS berarti kita sudah berusaha mengantisipasi bahwa perhitungan bisnis kita mungkin salah dan kita mencegah membeli terlalu mahal. Bahkan jika perusahaan yang benar juga kadang bisa mengalami fluktuasi harga.
Jika kita benar-benar menginjak ranjau, maka langkah ketiga adalah diversifikasi. Buffett sendiri juga berkali-kali menginjak ranjau. Ini adalah tidak pernah membeli 1 perusahaan dengan kekuatan terlalu besar. Gampangnya adalah jangan pernah membeli perusahaan dengan porsi yang membuat kita tidak bisa tidur di malam hari. Tapi jika kita tidak bisa tidur karena pergerakan harga saham, mungkin sebaiknya kita tidak berinvestasi.
Diversifikasi adalah untuk mencegah efek pukulan di kapal investasi terlalu besar. Jangan sampai 1-2 x kena ombak langsung membuat kapal kita tenggelam alias aset kita jadi 0. Mengulang dari nol adalah bencana terbesar dalam berlayar menuju tujuan finansial kita.
Mengenai diversifikasi bisa dibaca di sini.
30-40-50 : https://saham-indonesia.com/2017/09/30-40-50/
Untuk pembahasan lebih lanjut, silakan bergabung dengan komunitas kami.
Belajar dalam berinvestasi bukanlah berusaha bagaimana menyingkirkan semua batu penghalang. Yang kita lakukan adalah mempersiapkan kapal semampu kita, kemudian memulai perjalanan sambil terus mengembangkan diri.