Emosional Investasi

  • Save

Emosional Investasi

Kita memulai investasi tentu saja dari nol. Baik dari pengetahuan, maupun mental kita. Mana yang paling penting. Biasanya kita akan fokus pada ilmu. Kita belajar kemana-mana mengenai beberapa metode investasi, dan kemudian menilai mana yang cocok dengan kita. Setelah belajar, dan ketika kita mempraktekkan beberapa kali, jika hasilnya bagus, kita merasa sudah mendapat jawabannya. Tapi situasi tidak akan seperti garis lurus, selalu ada perubahan di masa depan. Jadi nantinya metode yang kita gunakan, bisa saja akan berubah kinerjanya.

Di saat demikian, apakah kita akan mencari metode baru, atau tetap bertahan di metode lama, dan tidak terjun ke pasar karena situasi tidak mendukung. Di sinilah mental kita akan diuji. Apakah kita tetap akan mempercayai metode kita yang sebelumnya berjalan, atau kita berubah haluan karena tidak mau melihat kegagalan yang terjadi. Seperti bahasan Peter Lynch, semua orang punya kemampuan akademis untuk berhasil di investasi karena matematika yang dibutuhkan hanyalah level kelas 5 SD, sedangkan tidak semua orang akan bertahan ketika situasi pasar investasi tidak mendukungnya.

Dari banyak sumber bacaan, investor cenderung menyerah karena masalah tidak tahan dengan potensi kerugian yang terjadi. Bahkan jikapun penyebabnya adalah kurang ilmu, biasanya kurang ilmu juga karena investor memang malas atau tidak berusaha mencari ilmu, dan memperlakukan produk investasi sebagai meja judi. Mengenai masalah tidak mencari ilmu, tidak ada obat lain selain belajar. Tidak ada seorangpun akan mencapai tujuan tanpa tahu apa yang dilakukan. Boleh dicari di bidang apapun juga. Bisnis makanan di warung kecil sampai ekspor impor. Dari supir sampai menjadi pilot, dari bermain bola sampai bermain alat musik. Semua butuh ilmu dan kemudian latihan bertahun-tahun.

Kecuali kalau kita sudah berkomitmen dalam berinvestasi ini hanya mau 1x saja, atau hanya untuk main-main, jelas tidak butuh usaha besar. Tapi jika ini adalah bidang yang perlu kita lakukan selama bertahun-tahun, maka belajar adalah hal wajib. Apalagi kalau tidak belajar karena masalah uang atau masalah waktu. Tidak punya uang beli buku untuk belajar atau mengikuti seminar yang bagus, dan tidak punya waktu belajar karena banyak yang harus diurus. Tidak punya uang justru adalah alasan awal kita terjun ke investasi. Jika sudah kaya raya, bukankah kita tinggal melakukan kegiatan sosial atau hobi kita. Tidak punya uang adalah masalah yang harus kita selesaikan.

Kemudian tidak punya waktu, ini juga alasan lain. Apakah dengan tidak punya waktu, kita berharap suatu hari nanti kita tiba-tiba punya banyak waktu. Bisa saja jika misalnya karena sibuk kerja tidak punya waktu, maka nanti akan punya banyak waktu ketika sudah tidak bekerja, atau tidak punya waktu karena sibuk ngurus anak dan keluarga, nanti waktunya banyak ketika anak sudah besar dan kita cuma berdua dengan pasangan kita. Tapi berhenti bekerja dan anak sudah besar, berarti kita sudah tua. Apakah kita punya kemampuan finansial untuk menghidupi kita? Atau nanti tergantung anak saja. Berharap anak sebagai produk investasi adalah masalah yang sangat besar. Jika jawaban mengharap anak muncul, pertanyaan pentingnya adalah, apakah kita sendiri mengurus orang tua kita? Jika tidak, mengapa bisa yakin anak kita akan mengurus kita, atau jangan-jangan mereka sibuk juga mengurus anak mereka, dan malah membebankan urusan cucu pada kita, yang seharusnya sudah memasuki masa tenang.

Jadi dengan adanya solusi dari tidak punya ilmu, masalah kita tinggal mental. Ini yang biasanya membuat mayoritas orang berhenti dari bidangnya. Jika karir seseorang berjalan mulus, siapa yang mau berhenti. Mayoritas orang akan berhenti ketika bertemu masalah di perjalanan. Kalau di investasi, kita akan berhenti ketika ada kejadian yang tidak sesuai harapan kita. Kita membayangkan bahwa dengan sebuah metode super, dalam waktu yang sudah diperhitungkan, kita akan mencapai tujuan finansial. Tapi masa depan siapa yang bisa menebak. Ketika ada halangan muncul, apakah kita akan berhenti, atau melewatinya, itu semua adalah pilihan kita.

Apapun masalah yang muncul, bagaimana kita bereaksi akan menentukan hasil selanjutnya. Buffett sendiri pernah menjabarkan, jika kita tidak tahan melihat portofolio kita -50% dalam kurun waktu tertentu, lebih baik kita tidak melakukan investasi di saham. Dan kalau kita baca semua biografi orang sukses, semua pernah mengalami masalah dan berhasil melewatinya. Ada berbagai cara untuk mengatasi masalah mental. Dan menurut kami, dari ilmu yang sudah teruji sekian tahun, ada 6 sifat yang harus kita latih. 6 sifat ini bisa dibaca di link berikut :

Berkecukupan – Part 1 : https://saham-indonesia.com/2015/12/6-perfection-part-1/
Disiplin – Part 2 : https://saham-indonesia.com/2015/12/6-perfection-part-2/
Kerja Keras – Part 3 : https://saham-indonesia.com/2015/12/6-perfection-part-3/
Kesabaran – Part 4 : https://saham-indonesia.com/2015/12/6-perfection-part-4/
Latihan – Part 5 : https://saham-indonesia.com/2015/12/6-perfection-part-5/
Akal Sehat – Part 6 : https://saham-indonesia.com/2015/12/6-perfection-part-6/

Kalau secara ringkas, jika kita merasa berkecukupan tidak kekurangan, maka kita bisa membatasi disiplin diri, dan dengan disiplin diri kita akan bekerja keras. Dengan bekerja keras kita akan memupuk kesabaran dan kegiatan terus-menerus akan melatih kita, sehingga akhirnya kita memiliki cara pandang yang rasional dalam menilai transaksi investasi kita.

Ketakutan ketika harga turun, dan keserakahan ketika harga naik, emosi ini selalu ada di pasar saham. Jika kita bisa melatih 6 sifat di atas, kita akan lebih tenang dalam melakukan penilaian sehingga tidak melakukan tindakan sia-sia. Kita tahu apa yang harus dilakukan. Makanya Benjamin Graham menjelaskan ini sebagai Mr. Market. Kita di bawah tekanan Mr. Market untuk ikut kegilaannya, atau mengambil kesempatan. Dengan kesadaran bahwa naik turunnya harga saham adalah kewajaran dan pasti terjadi, seperti musim hujan dan musim kemarau, kita bisa bertindak rasional. Ketika bursa turun dan mendorong harga lebih murah, kita mengambil mindset membeli, dan ketika harga mahal, mindset kita adalah menjual. Jangan pernah terbalik, beli di harga mahal, dan jual di harga murah.

Untuk memastikan bisa membeli di harga murah dan nilai perusahaan akan naik, maka ada 2 kriteria, perusahaan harus bagus, alias punya prospek, punya finansial yang sehat, punya manajemen yang profesional, dan yang kedua adalah harga murah. Dengan kata lain, belilah perusahaan bagus di harga murah. Ini untuk memperbesar peluang keberhasilan kita. Kalau kita membeli perusahaan jelek di harga mahal, belum tentu akan gagal, tapi ini jelas memperkecil peluang kita.

Dikatakan peluang karena memang tidak ada metode untuk menebak sekarang adalah harga paling murah, atau paling mahal. Sama seperti kondisi 2 musim di Indonesia. Kita tahu musim kemarau dan hujan pasti terjadi, tapi tanggal hujan pertama dan hujan terakhir siapa yang tahu. Buanglah pemikiran kalau hujan terakhir sudah terjadi baru saya mau jualan es krim. Kalau benar ada yang bisa menebak demikian, jelas orang ini sudah paling berhasil di dunia. Buktinya orang-orang terbaik tidak punya kemampuan meramal masa depan dan menunggu situasi sudah sempurna baru beraksi.

Takut rugi adalah masalah mental yang bisa diperbaiki dengan latihan mengikuti 6 sifat di atas. Tapi kalau memang tidak mau dilatih, seperti kata Buffett, lupakan saja investasi di pasar modal, cari instrumen investasi yang lebih aman. Bagi kami sendiri, jangan melakukan aktivitas yang membuat kita tidak bisa tidur di malam hari.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!
Copy link