


Siklus Matahari
Setiap hari kita melihat matahari terbit dan terbenam, berganti dengan bulan. Ini adalah siklus alami dari alam. Demikian juga dalam bisnis, selalu ada siklusnya. Tidak ada bisnis yang terus-menerus meningkat. Bahkan untuk perusahaan terbesar. Semua akan mengalami naik turunnya bisnis, apakah dari faktor eksternal, maupun dari faktor internal karena kesalahan mereka sendiri.
Karena siklus, maka yang di atas akan turun, dan yang di bawah akan naik. Ini normalnya, karena ketika kondisi bagus, orang akan terlena dan mengambil keputusan tidak hati-hati karena terlalu optimis dengan kondisi yang ada, yang mengakibatkan salah langkah, yang membuat kondisi memburuk. Dan ketika kondisi buruk, orang mulai berhati-hati dan mempertimbangkan setiap langkah mereka, sehingga keputusan yang diambil juga lebih baik. Dan ini membuat kondisi membaik. Kadang ada juga ketika kondisi memburuk, manusia bukannya memperbaiki keadaan, tapi sibuk mencari kambing hitam dari kondisi buruknya. Hal ini biasanya membuat kondisi menjadi lebih buruk, dan bisa saja bisnis akan kolaps. Bisa juga karena kurangnya kemampuan sehingga pelaku bisnis tidak mampu mencari jalan keluar.
Karena inilah penting bagi kita sebagai investor ritel untuk berinvestasi pada perusahaan terbaik. Perusahaan terbaik memiliki kemampuan dan sumber daya untuk menyelesaikan masalah. Bahkan jika kondisi buruk dari eksternal, perusahaan punya daya tahan untuk melaluinya. Misalnya di bisnis dengan model siklus, seperti properti dan komoditas, dimana ada tahun-tahun baik, dan tahun-tahun buruk, perusahaan terbaik punya sumber dana untuk bertahan di kondisi bisnis yang lesu, atau karyawan yang kreatif untuk berpikir bagaimana bisa efektif dan efisien melewati krisis.
Salah satu perusahaan bagus dalam kondisi tertekan karena faktor eksternal dan kemudian kerugian yang dilakukan mereka adalah Matahari Department Store Tbk (MDS). Faktor eksternal jelas adalah munculnya ecommerce yang mengganggu bisnis offline. Dan beberapa penutupan toko mereka, ini juga ditambah berita tutupnya beberapa toko fashion lainnya. Apakah bisnis perusahaan ritel fashion sudah di ujung dan akan tamat seperti mesin tik, koran, telepon rumah, dan sebagainya? Kalau membahas ini dengan beberapa orang secara umum, asumsi umum adalah Matahari akan bangkrut dalam waktu dekat. Apalagi kalau yang mengerti saham, melihat harga sahamnya turun, langsung memprediksi ke depan akan turun terus sampai 0.
Tapi untungnya kami memiliki teman-teman yang bisa diandalkan untuk mencari data, ditunjukkan bahwa toko-toko yang tutup adalah di wilayah macet atau tidak berpotensi karena sepi pengunjung. Tidak ada yang mau berjam-jam macet di jalan hanya untuk membeli baju atau masuk ke daerah sepi pengujung untuk berbelanja. Dan kalau kita membaca berita lebih banyak, ternyata selain menutup di daerah tidak bagus, MDS juga buka cabang di wilayah lain.
Dan ketika di harga Rp. 3.000, jika bisnis berjalan normal, maka dividen yield perusahaan bisa mencapai 14%. Untuk perusahaan yang bagi dividen 2x yang kita dapatkan dari deposito, penjualan setahun di atas 10 trillun, laba bersih sekitar 1.5 trillun, tanpa hutang, mendapat uang dulu dari pelanggan baru bayar belakangan ke supplier, produknya adalah jenis produk yang harus dipakai semua orang, adalah gila jika kita mengambil posisi sebagai penjual dibanding sebagai pembeli.
Kalau kita baca buku Peter Lynch, baik One Up on Wall Street maupun Beating the Street, banyak kalimat yang menunjukkan apa yang harus dilakukan ketika situasi seperti kasus LPPF terjadi. Dan ingat juga menurut Buffett, kita benar atau salah bukan karena penilaian mayoritas, kita benar karena data kita adalah benar. Jadi bukan karena kata orang ini dan itu, maka kita harus ikut.
Apakah ke depan harga akan makin turun, kami tidak tahu, tapi jika kami membeli di harga 4.000, maka harga 3.000 adalah lebih diskon. Apalagi kalau ke 2.500. Yang harus kita lakukan adalah membeli, bukan menjual. Itu cara berpikir yang benar. Jika ada peluang, cara berpikir yang benar adalah mengambilnya. Pemain sepakbola yang buang-buang peluang saja tidak akan menjadi pemain besar, apalagi investor. Peluang mendapat perusahaan bagus di harga murah adalah jarang. Hanya ketika mereka mendapat masalah barulah harga murah bisa muncul. Yang harus kita tanya adalah berapa lama masalah ini muncul, bagaimana prospek ke depan, apakah perusahaan punya kemampuan melewati masalah ini, dan berapa banyak kita bisa membeli supaya malamnya tetap tidur nyenyak. Karena tidak ada yang bisa meramal masa depan, bisa saja masalah memburuk dan harga tertekan lagi. Adalah situasi paling dihindari jika kita akhirnya harus masuk rumah sakit karena stres memikirkan nasib investasi kita.
Yang paling ditakuti mayoritas investor pada umumnya adalah kalau habis beli harga saham makin turun. Kita akan melihat kemungkinan terjadinya kerugian. Apalagi kalau makin turun. Tapi kalau kita telah mempelajari perusahaan, dan tahu kondisi ke depan akan membaik, jelas situasi ini adalah peluang. Sudut pandang lain penurunan harga adalah kesempatan mendapat saham di harga lebih murah, atau dengan jumlah dana yang sama kita mendapat lebih banyak lembar saham.
Untuk merubah cara pandang, kita harus banyak membaca dan menganalisa. Kalau modal ikut mayoritas, jelas tidak ada ilmu yang bisa dipelajari. 1 hari 1 halaman, 1 tahun selesai 1 buku. Kita punya waktu lebih dari cukup untuk 1 halaman per hari. Sama seperti kehidupan, ada naik ada turun. Kami sudah banyak menulis artikel tentang up and down. Waktu naik harus hati-hati karena bisa turun. Waktu turun harus punya kesabaran untuk menunggu naik. Kemudian kita harus membedakan antara harga saham vs nilai perusahaan. Ada nilai perusahaan, yang walau subjektif tapi bisa dijadikan acuan pribadi kita, dan ada harga saham yang bergerak liar tergantung banyak faktor. Faktor yang kelihatannya sekarang penting, tapi 1-2 tahun lagi tidak akan menjadi isu sama sekali.
Karena MDS cuma contoh perusahaan, berarti situasi ini bisa diganti menjadi perusahaan lain. Jadi, jika ada saham yang sekarang kondisinya mirip LPPF, sudah tahu harus melakukan apa?